Kamis, 11 Agustus 2011

Biarlah Berlalu

Aku berdiri menatap rona mentari senja. Menikmati segala keadaan tanpa beban meski saat ini tengah berada di remah-remah penghianatan. Namun aku tak peduli. Aku acuh dengan segala hiruk pikuk di sekitarku. Kini aku tak sedang berbohong. Aku benar-benar merasa tenang. Serasa menjadi orang yang paling bahagia di dunia. Aku bahagia…

            Memori sel abu-abuku kembali memutar kejadian waktu itu. Saat aku duduk diatas gedung bangunan yang menjulang. Kubiarkan kakiku bergelantungan sambil duduk di tepi atas bangunan berlantai 24 itu, sambil terus membiarkan tetes demi tetes air mata terurai dan jatuh menggenangi pipiku. Dengan lincah, butiran-butiran air mata itu terjun dan merembes di kaos hitam yang kukenakan. Mataku memandang ke bawah, kearah kendaraan yang lalu lalang memenuhi ruas jalan.
            Ah, lagi-lagi ku sia-siakan air mataku untuk cinta. Cinta… cinta… Jika kau adalah anugerah dari Tuhan, mengapa pula banyak air mata yang jatuh sia-sia karenamu?
            “WOY… JANGAN!!!” teriak seorang pria sambil berlari kearahku, kemudian menarik kuat-kuat tanganku hingga aku terhuyung-huyung ke tengah pelataran gedung paling atas itu.
            “Apa-apaan sih loe? Bisa nggak kalo nggak ngurusin privasi orang lain?” umpatku pada pria ‘nggak jelas’ itu.
“Privasi gimana? Orang gue liat loe mau bunuh diri… apa itu masih termasuk privasi? Kalo loe mati, yang ada loe yang gangguin privasi gue karena akhirnya yang bakal di interogasi sama polisi sebagai saksi mata tuh gue…” ia melengos.
Aku tertawa terbahak-bahak.
“Malah ketawa sih?” ia tampak kebingungan dengan reaksiku.
Masih sambil tertawa aku menjelaskan, “Siapa juga yang mau bunuh diri? Gue cuma mau menikmati pemandangan kota dari atas sini…” aku menghela nafas. “Hmmm… lagian es krim aja masih enak. Di alam kubur belum tentu ada kan?”
“Oh gitu…” ia manggut-manggut. “Ehm, sory ya kalo gitu…” lanjutnya sambil menggaruk-garuk kepala.
“Nah terus loe sendiri ngapain kesini? Jarang-jarang yang mau ke tempat ini. Atau bahkan hampir nggak ada yang mau kesini kecuali orang yang…”
“Agak eror?” belum selesai aku bicara ia sudah menyela.
 Aku mengangkat bahu. “ya begitulah…”
“Gue cuman lagi jenuh aja, makanya kesini. By the way, nama loe siapa?”
“Gue Dhea…” jawabku sambil mengulurkan tangan.
“Rafky…” ia meraih tanganku. “Eh, eh… loe habis nangis ya?” Tanya Rafky.
Aku hanya menjawab dengan senyum simpul yang berarti mengiyakan pertanyaannya.
“kenapa?”
“Hari ini, tanpa ngucapin kata putus, cowok gue pergi ninggalin gue dan milih cewek lain yang baru di kenalnya satu bulan. Sedangkan dia udah jalan sama gue sepuluh bulan.” Aku menunduk. “Ehm… loe sendiri kenapa?”
“Gue juga lagi broken heart nih. Habis putus cinta juga…”
“Ya udah dibikin enjoy aja. Emang sih menyakitkan. Tapi kalo dipikir-pikir lagi tanpa mereka pun rumput di lapangan masih ijo kok…”
“Hahaha… bener juga sih. Dan satu lagi…” jawab Rafky.
“Apa? Tanyaku penasaran.
“Air laut juga masih asin. Hahaha…”
Aku tertawa, Rafky tertawa. Kami sama-sama tertawa. Meski hati sama-sama merasa tersakiti, setidaknya kami bisa saling menghibur walaupun kami baru saling kenal. Hari itu aku berhasil membuat orang lain tertawa.

♣ ♣ ♣
Sejak pertemuanku dengan Rafky di atas gedung itu, kami jadi semakin akrab. Kesamaan prinsip, misi dan sifat membuatku merasa nyaman berteman dengannya. Bahkan bayangan mantan kekasihku, Davin semakin menghilang. Tak ku pungkiri, sifat Rafky membuatku diam-diam menaruh hati padanya. Dan akupun merasakan bahwa ia juga memberiku sinyal-sinyal cinta.
“Loe suka kan sama gue…” ledek Rafky.
“RAFKY APAAN SIH…” seruku manja.
“”Berani taruhan nggak? Loe bakal jadi pacar gue!” tantangnya membuatku semakin tersipu.
“Apaan sih Raf… Lagian jadi cowok ke-geer-an banget…”
“Beneran nggak mau?”
“Iya…”
“Yakin?”
“Iya…”
“Ini iya mau apa iya beneran nggak mau sih? Nggak jelas amat nih cewek…”
“Iya…” aku tersenyum.
“kamu mau jadi pacar aku?”
“Ce’ile gayanya pake ‘aku’. Biasanya aja ‘gue-loe’…” ledekku.
“Ya kan sama calon pacar…”
“Ih Rafky nyebelin banget deh… kok calon pacar sih? Aku kan udah bilang ‘iya’ tadi.”
Saat itu juga Rafky memelukku. Aku benar-benar yakin bahwa Rafky adalah cintaku yang sesungguhnya. Bayangan tentang Davin semakin dan semakin kabur. Berganti lakon menjadi Rafky yang terus membayangi hatiku dengan tawa dan canda yang ia buat. Ia selalu saja membuatku tertawa.
Hari-hariku terasa lebih indah bersama Rafky. Ia selalu ada bersama kegilaannya, mebuatku tertawa karenanya, dan bahkan akupun telah gila dibuatnya.
Aku duduk sendiri di depan rumah menunggu Rafky datang menjemputku. Saat itu kami berencana untuk jalan berdua. Lima menit waktu berlalu dari waktu yang direncanakan. Sepuluh, dua puluh, tiga puluh menit… dan satu jam aku telah menunggu namun Rafky belum juga datang. Teleponku tak diangkat, SMSku pun tak dibalas olehnya. Aku kembali masuk rumah dan terpaksa mengurungkan niatku untuk jalan bersama Rafky. Mungkin Rafky mendadak sibuk… setidaknya aku berfikir positif hari itu.
Suatu hari aku bertemu Rafky di tempat pertama kali bertemu, yaitu di atas gedung bangunan berlantai 24. Kami masih melakukan hal-hal yang konyol, masih melakukan kegilaan, aku masih bisa tertawa olehnya dan ia pun telah tertawa dibuatku. Namun aku merasakan sesuatu yang berbeda dari dirinya. Hati kita terasa  jauh. Kini kehangatannya mulai memudar. Entah hari itu aku bahagia atau bahkan tengah merasakan kebimbangan…
Semakin hari aku merasa Rafky semakin jauh meski kini ia tengah berada disampingku. Hatiku merindukan Rafky. Rafky yang dulu, Rafky yang hangat dan menyenangkan.
“Aku pengen ngomong…” ucapku… dan Rafky secara bersamaan.
“Kamu dulu.” Aku tersenyum.
“Kamu aja… kan ladies first.” Rafky membalas senyumanku.
“Ehm… gimana ya Raf… kamu ngerasa nggak? Hubungan kita tuh rasanya semakin jauh. Entah itu karena aku atau karena kamu… tapi aku ngerasain itu…”
Rafky terdiam, lalu menunduk.
Aku menghela nafas. “Apapun alasan kamu dan keputusan kamu selanjutnya, aku akan terima…”
Rafky menoleh ke arahku. Ia tampak sedang memikirkan kata-kata yang tepat untuk berbicara padaku.
“Aku, ehm… Dhea, sebelumnya maafin aku ya kalo seandainya kejujuran aku nantinya bikin kamu sakit hati…”
Kuraih dan kugenggam kedua tangannya. “Ngomong aja Raf, aku bakalan baik-baik aja kok. Kejujuran kamu berarti banget buat aku walaupun seandainya nanti akan menyakitkan…” aku tersenyum menatapnya.
“Aku, ak aku… aku nggak bisa bohongin perasaanku…”
“Maksudnya?”
“Aku masih sayang sama Alma dan kita udah balikan seminggu yang lalu. Maafin aku Dhea…” Rafky kembali menunduk.
Deg! Tanpa sengaja aku melepaskan genggamanku pada tangannya. Apakah ini artinya aku hanya dijadikan pelampiasan saja oleh Rafky?
“Dhea, aku minta maaf...”
Aku tersenyum. Kutatap kedua mata elang yang meredup akibat penyesalannya itu.
“Jaga Alma baik-baik ya… Aku nggak pa-pa kok. Terimakasih ya Raf, atas semuanya.” Ucapku, sambil kemudian berbalik badan membelakangi Rafky. Aku melangkah menjauhinya.
“Dhea…” panggilnya.
Aku berhenti.
“Aku harap kita masih bisa jadi sahabat… aku sayang kamu Dhea…”
Mataku terpejam. Perlahan air mata jatuh membasahi pipiku. Suara Rafky membuat dadaku semakin sesak. Aku kembali berjalan tanpa sekalipun menoleh Rafky. Aku tak sanggup menatapnya, setidaknya untuk saat ini, entah esok, lusa atau kapan…
“Aku harap kita masih bisa jadi sahabat… aku sayang kamu Dhea…”
Kata-kata Rafky terus terngiang di telingaku.
Rafky bukan milikku, dia tercipta bukan untukku! Hati kecilku pun berteriak menyadarkanku. Dengan tangis lega dan senyum merekah, aku terus berjalan, semakin jauh, aku merasa tenang karena telah melepaskan cinta yang hanya sementara buatku, tak ada sedikitpun keinginan untuk menoleh kearah Rafky. Aku tetap tenang dan merasa bahagia. Aku benar-benar bahagia…

SELESAI

Tidak ada komentar:

Posting Komentar