Selasa, 10 Januari 2012

PERMISI, SAYA MAU MENJUAL KEPERAWANAN SAYA !





“Gue punye cerita yang harus elu tulis. Kita harus segera ketemu”, begitu pesan yang saya terima di Balckberry. Dan pesan tadi datang dari teman saya yang menjadi aktivis pemberdayaan masyarakat. Rasa penasaran saya terusik. Teman saya sudah menjadi aktivis lebih dari 3 tahun, semenjak ia bercerai dari suaminya. Semenjak ia pesimis dengan ikatan pernikahan dalam budaya moderen. Teman saya sangat fanatik dengan ide bahwa tiap orang harus mandiri dan mampu memberdayakan dirinya sendiri. Bertahun-tahun ia selalu menceritakan berbagai cerita dan tragedi dalam kehidupan rakyat sehari-hari. Setiap kali saya mau menulis, ia melarang saya. Alasan dia, “kasihan mereka cuma orang kecil…..” Dan baru kali ini dia menyuruh saya menulis. Jelas saya jadi penasaran.

Kami akhirnya makan sate di warung pinggiran kota. Ketika kami bertemu, ia hadir dengan wajah yang sama. Wajah seorang perempuan yang selalu kelelahan. Namun ada satu yang beda kali ini. Biasanya biarpun lelah, ia selalu punya senyum sinis. Terutama buat saya. Ia selalu meremehkan hidup saya. Tapi kali ini senyum sinis itu hilang. Wajahnya cuma meninggalkan bayang-bayang kelelahan. Dan itu sangat menakutkan saya.

Ia bercerita tentang 2 perempuan yang ia coba berdayakan. Keduanya datang dari kota kecil di Jawa. Lalu ia mengeluhkan bagaimana kehidupan kota-kota besar menjadi mercu suar yang makin berkilau dan menyiarkan persepsi kehidupan yang salah. Teman saya punya teori. Bahwa ia melihat dibeberapa desa kecil di berbagai kota di Jawa, seorang lelaki mendefinisikan kehidupan dan kebahagiannya dengan sangat ngawur. Yaitu dengan cara semena-mena dan semata-mata memanfaatkan istri dan anaknya. Seorang lelaki disebuah kota kecil, yang cukup miskin, tanpa tanah pertanian yang cukup, menonton televisi tiap hari, mengintip kehidupan kota besar dengan kaca mata yang salah. Sang lelaki akan menikah muda, punya beberapa anak. Ketika kehidupan makin susah, maka istrinya dipaksa menjadi TKI atau TKW, baik didalam negeri atau di luar negeri. Ia akan berdalih, biarlah sang istri mencari nafkah, dan hasilnya akan lebih banyak, lalu sang lelaki akan menjadi penunggu rumah yang baik sambil merawat anaknya. Akibatnya ribuan kaum perempuan merantau kekota besar menjadi pembantu rumah tangga. Teori teman saya, telah terjadi pemanfaatan kaum perempuan yang mirip dengan perbudakan berbudaya.

Cerita atau teori ini makin parah, ketika keluarga itu memiliki beberapa anak perempuan. Karena begitu anak perempuan telah mengalami menstruasi pertama, maka oleh sang ayah mereka dimotivasi untuk segera ke Jakarta mencari pekerjaan. Karena mereka sangat rendah pendidikannya. Seringkali cuma pendidikan asal-asal-an, sekedar hanya bisa membaca dan menulis, maka kaum perempuan ini terjebak menjadi pekerja dengan profesi tertentu. Sang ayah di rumah tinggal ongkang-ongkang kaki menerima setoran gaji dari sang istri dan anak-anaknya. Saya sendiri merasa sangat tidak nyaman dengan cerita yang mirip teori konspirasi ini. Lalu teman saya bercerita lebih lanjut.

Teman saya bertemu dengan Sari, seorang perempuan berusia sekitar 16-17 tahun. Sari juga berasal dari sebuah kota kecil. Setiap kali mudik, ia harus naik ojek beberapa jam menuju rumahnya dari persingahan bus terakhir. Karena rumahnya sangat terpencil dikampung. Wajah Sari tidaklah cantik. Biasa-biasa saja. Namun tubuhnya cukup bongsor. Dan mekar dengan sangat baik. Ketika Sari baru berumur 14 tahun, ayahnya sudah memotivasi Sari untuk mencari uang sendiri. Biar bisa hidup lebih baik. Begitu nasehat sang ayah. Maka oleh ayahnya Sari ditawarkan bekerja disebuah keluarga di Bandung. Tentu saja sang ayah mendapat komisi yang lumayan. Sari sempat bekerja sebagai pembantu rumah tangga selama setahun lebih. Ketika pulang mudik saat Lebaran, Sari disambut bagai pahlawan dirumahnya. Awalnya Sari cukup bangga. Tak lama kemudian, sang ayah membujuknya bekerja di Jakarta. Alasannya, uangnya lebih banyak. Maka Sari berhenti secara sepihak, dan tidak kembali lagi ke majikan semula di Bandung. Sari mulai petualangan baru di Jakarta. Tentu saja sang ayah menerima kembali komisi. Dan tiap kali pulang mudik, ayahnya selalu membujuknya untuk pindah ke majikan baru. Semata agar sang ayah selalu mendapatkan uang komisi.

Sari bertemu teman saya, sang aktivis di Jakarta. Saat itu Sari sedang bingung, karena ia dipaksa kawin oleh keluarganya. Menurut Sari dikampungnya ada sebuah kepercayaan bahwa lebih baik menjanda daripada tidak laku dan menjadi perawan tua. Sang ayah tentu saja sudah menyediakan calon suami. Dan dugaan teman saya, Sari dijual kepada sang calon suami oleh ayahnya, dengan sangat halus. Maka akhirnya Sari tak bisa melepaskan diri lalu menikah muda. Perkawinan itu sendiri hanya mirip status saja. Karena pada kenyataan-nya Sari hanya mudik kekampung setahun sekali. Dan bertemu dengan sang suami setahun sekali. Konyol tapi sangat nyata. Setelah menikah, suaminya yang menggantikan peran ayahnya. Tiap kali sehabis mudik Sari ditawarkan kepada keluarga baru. Semata untuk mengambil uang komisi itu. Kepada teman saya Sari mengaku tidak betah harus berpindah-pindah kerja. Ia seringkali kabur, dan hanya kembali ke salah satu keluarga di Jakarta.

Kepada teman saya, Sari mengaku bahwa ayah dan suaminya, setiap hari mengirim SMS, isinya selalu minta uang. Mulai dari uang untuk membetulkan rumah hingga ongkos berobat. Selalu saja ada alasan dan permintaan dari kampong. Sari merasa hidupnya sangat tertekan. Ia mengaku tidak tahu makna kebahagian yang sesungguhnya. Ia tidak bisa menabung. Dan akhirnya ia merasa menjadi budak. Namun ia tidak punya kuasa untuk melawan. Karena kalau ia membangkang, ketika mudik pulang kampong, ada resiko ia dikucilkan dan tidak diterima di keluarganya. Itu adalah resiko yang sangat menakutkan. Sari cuma punya keluarganya. Itu harta satu-satunya. Diluar itu ia miskin dengan komplit. Tanpa tabungan tanpa kemampuan pemberdayaan ekonomi.

Kasus seperti Sari barangkali pernah anda dengar ceritanya berkali-kali. Saking seringnya, kita cuma menghela nafas ketika mendengarnya. Kadang kita iba sesaat lalu mati rasa. Lain buat teman saya sang aktivis. Baginya ini sudah menjadi tragedi dengan kesedihan yang berlapis-lapis. Lalu ia bercerita tentang kasus perempuan lain. Yaitu Dewi. Cerita Dewi tidak berbeda jauh. Hanya saja Dewi dianugerahi wajah yang lebih cantik dan manis. Saya diperlihatkan foto Dewi. Mirip anak SMA mau kepesta. Sepupu Dewi, kebetulan menjadi terapis SPA disebuah hotel berbintang di Jakarta. Maka oleh keluarganya Dewi dititipkan kepada sepupunya agar memiliki karir yang mirip. Dan penghasilan dengan duit sangat banyak. Cerita tentang Dewi hinggap ditelinga teman saya, ketika Dewi mau menjual keperawanannya. Anda mungkin kaget mendengarnya. Sama pula dengan perasaan saya. Rasanya jengah, dan menjijikan.

Tapi cerita seperti Dewi sangat umum. Teman saya sang aktivis, bercerita bahwa Dewi dibujuk sepupunya. Dengan penjelasan sangat sederhana. Sepupunya bercerita bahwa bekerja sebagai terapis SPA sangat berbahaya. Karena rayuan dari tamu sangat bermacam-macam dan beragam. Resikonya juga sangat tinggi. Dan salah satunya adalah diperkosa oleh tamu didalam kamar. Korban perkosaan atau pelecehan seksual yang dialami terapis SPA didalam sebuah kamar tertutup statistiknya sangat tinggi. Namun tidak pernah dilaporkan, karena sangat sulit dibuktikan. Apalagi ini pekerjaan dengan stigma tertentu. Oleh sepupunya Dewi dibujuk untuk menjual keperawanannya saja. Daripada nanti diperkosa dan tidak dapat uang. Lebih baik dijual dulu. Minimal dapat uang banyak, begitu janji sepupu Dewi.

Anda bisa bayangkan ketakutan Dewi menghadapi kehidupan kota besar yang ganas begini. Menurut Dewi, sepupunya menilai harga keperawanan-nya bisa laku 50 juta. Saya terhenyak mendengarnya. Teman saya yang aktivis ini bercerita bahwa di kampung terpencil, harganya bisa jauh lebih murah lagi. Ia mengaku pernah bertemu dengan seorang perempuan yang baru menjual keperawanannya seharga 200 juta. Lalu siapa saja pembelinya. Banyak. Mulai dari orang yang punya kelainan sex, hingga orang tertentu yang membeli karena persyaratan dari dukun. Ada pejabat yang diperintahkan dukun, untuk mencari 7 perawan agar tidak tertangkap KPK.

Cerita seperti Dewi mungkin pernah and abaca di novel atau anda tonton di sebuah sinetron. Dan sama sekali bukan fiksi. Teman saya berteori bahwa kemiskinan dan gemerlap kehidupan kota besar menjadi paradox yang menyakitkan. Selama orang tua seperti Dewi dan Sari, tidak bersikap tegas untuk melindungi anak-anaknya, kejadian ini akan tetap berulang. Karena salah satu penyebabnya yang sangat serius justru datang dari orang tua yang tega mengkomersilkan anak-anak mereka.

Ketika saya berpisah dengan teman saya. Kami berpelukan erat. Dengan suara terisak teman saya berbisik : “Kayaknya gue akan kalah dan gue harus menyerah.” Saya mencoba memeluknya lebih erat. Saya balas berbisik : “Bersabarlah. Gue yakin banget Tuhan tau apa yang mesti Ia perbuat !”. Teman saya dengan wajah lelahnya mencoba tersenyum. Senyuman sinis seperti biasanya. Ia tidak pernah yakin dunia ini akan segera berubah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar