Selasa, 10 Januari 2012

SINDIRAN - SENTILAN DAN SARKASME

Seorang teman wafat dalam usia sangat belia. Saat itu saya sedang di LOS ANGELES, ketika mendapat kabar duka cita tersebut. Sekejap saya terhenyak. Ia figure pengusaha yang cukup sukses. Cerdas. Dan pintar bergaul. Ketika saya pulang ke Jakarta, sejumlah kabar berhembus. Kebanyakan negatif. Kembali saya terhenyak untuk kedua kalinya. Cerita suksesnya sirna semua. Konon ia meninggalkan istrinya 5 bulan yang lalu demi seorang wanita yang lebih muda dan lebih cantik. Dan ia meninggal saat karena kecelakaan saat pelesir dengan istri barunya. Untuk itulah ia dikutuk dan dianggap pantas menerima ganjaran kematian yang mengenaskan itu.

Masyarakat disekeliling kita seringkali bertindak sangat kejam. Tanpa diskon. Tanpa embel-embel. Tanpa kepedulian. Seringkali member label dan cap yang sangat negatif dan berlebihan. Tetapi juga, barangkali cerita diatas bukanlah sesuatu yang baru. Sesuatu yang sangat using dan kuno. Sama kunonya dengan pribahasa - “Gara-gara nila setitik. Rusak susu sebelanga”. Kata mentor saya Mpu Peniti, “yang tidak pernah using adalah kebenaran. Betapun usang dan kunonya !” Dan ucapan inilah yang menghibur saya dan sekaligus membuat saya tertawa ketika menerima kiriman humor di BB tetang 7 presiden kita yang semuanya memiliki referensi negatif. Perasaan itu tidak menyentuh saya terlalu lama. Perlahan berganti dengan sebuah kengerian, betapa kehidupan kita dijejali dengan perasaan sinis yang sangat berlebihan. Seolah dengan meledek dan memuaskan perasaan sinis kita, membuat kita tertawa dan berbahagia.

Konon perbuatan sinis, atau sarkasme, punya sejarah sangat panjang. Ketika manusia telah fasih menggunakan bahasa dan menjadikan-nya sebuah media artistic, naka sinisme ikut hadir dan menjadi seni tersendiri. Sejarah Romawi kuno misalnya dipenuhi dengan sejumlah artis yang mahir menggunakan sinisme. Mulai dari politikus hingga filsuf. Dari Romawi, konon menjalar cepat ke Inggris. Dan hingga hari ini, masih bisa kita saksikan seni aslinya dalam perdebatan para politikus di parlemen. Dimana tak jarang mereka saling menyindir dan mengejek dengan sinis. Bangsa Asia konon terlambat mengenal sinisme. Barangkali kultur dan budaya kita awalnya menganggap sinisme atau sarkasme tabu dan sangat tidak sopan.

Bagi anda yang penasaran ? Mungkin anda jadi ingin tau, kenapa sinisme ini lalu tumbuh subur dalam budaya kita saat ini ? Mengapa humor kita di SMS, televisi, dan BB jadi penuh dengan sindiran dan sinisme ? Seorang wartawan yang sering menulis masalah budaya, menjelaskan kepada saya, bahwa barangkali sindiran, sinisme dan sarkasme muncul dan menjadi bahan lawakan pada saat yang bertepatan munculnya pelawak intelek dari kampus. Konon menurut cerita, tahun 1973 di Perkampungan Mahasiswa Universitas Indonesia di Cibubur, sedang berlangsung konsolidasi mahasiswa. Mereka akan menentang rencana kedatangan Perdana Menteri Jepang, Kakuei Tanaka ke Jakarta untuk bertemu dengan Presiden Soeharto. Di sana Kasino, Nanu, dan Rudy Badil yang paling menonjol mengatur acara supaya ramai dan tidak menjenuhkan.

Temmy Lesanpura, mahasiswa UI yang juga Kepala Program Radio Prambors menemui Kasino, Nanu, dan Rudy Badil di dalam acara konsolidasi mahasiswa tersebut. Ia menawari ketiganya untuk mengisi acara radio Prambors. Maka lahirlah ‘Obrolan Santai di Warung Kopi’. September 1973. Itulah awal kelahiran Warung Kopi Prambros, yang menawarkan sentilan humor yang lebih intelek, dengan gaya sinisme yang cerdas, melawan semua kemapanan yang ada. Manajemen Warung Kopi Prambors kelihatan serius dan meniru manajemen group lawak di luar negeri. Yaitu mencari penulis, periset, dan pemulung bahan lawakan. Salah satu staff mereka adalah Tubagus Dedi Gumelar alias Miing Bagito. Yang kemudian keluar dan mendirikan group lawakan baru yaitu BAGITO, dengan tambahan dua personil yaitu Didin dan Hadi Prabowo alias Unang . Nama group Bagito konon berupa singkatan Bagi Roto.

Sejak itu kampus menjadi “traning camp” dan tempat merekut pelawak yang potensial. Maka sindiran, sentilan, sinisme, sarkasme, menjadi bahan baku tertawaan kita sehari-hari saat ini. Dan kemampuan meledek seolah menjadi alat ukur kecerdasan. Sehingga pintar meledek semakin cerdas kita nampaknya. Meledek dengan sinisme ini juga muncul dalam bentuk lain, misalnya dalam lagu berbagai composer dan juga film-film kita saat ini. Agar lebih intelek, maka istilah yang digunakan adalah satire.

Ketakutan saya pada bangsa ini, adalah kita akan mati rasa bersama-sama. Konon ketika Orde Baru berakhir, Indonesia mengalami reformasi dan demokrasi dalam berbagai bentuk. Bukan saja yang positif, tetapi juga yang negatif sekaligus. Seorang politikus mengatakan pada saya, bahwa di jaman orde baru, yang bisa korupsi hanya golongan tertentu. Yaitu golongan yang punya koneksi dengan pusat kekuasaan. Setelah reformasi situasi itu berubah. Istilah teman politikus saya adalah “….. gantian dong. Sekarang giliran gue korupsi”. Maka jumlah korupsi saat ini secara kuantitas dan kualitas sangat masif dan merajalela. Mungkin jumlahnya berkali-kali lipat di banding jaman Orde Baru. Tiap hari media menulis soal korupsi secara gambling. Namun karena kita sudah mati rasa. Membacanya kita cuma senyum. Kita tidak lagi berang. Karena secara keseluruhan kita sudah kena penyakit 3 B (Buta-Budeg-Bisu).

Reaksi kita menjadi terbatas dengan membalas lewat sindiran, sinisme atau sarkasme. Ini yang membuat kita sebagai bangsa semakin mahir meledek. Di saat yang sama meledek menjadi kepuasan yang tercukupi. Seorang anthropolog menyebutnya sebagai “orgasme lewat masturbasi”. Lama lama kita kehilangan kepedulian kita. Mpu Peniti, mentor saya, mengatakan, dalam kasus teman saya yang wafat gara-gara kecelakaan itu, saya dan teman-teman mengalami cacat batin. Yaitu kita kehilangan sebagian kemampuan manusiawi kita untuk berduka. Ketidak mampuan untuk merasa kehilangan. Kegagalan untuk bersedih hati. Kegagalan secara cerdas untuk mengenang seorang teman. Cacat batin ini menjadi keterbatasan baru, yang dilampiaskan lewat sinisme atau sarkasme. Terus terang saya harus setuju dengan Mpu Peniti soal yang satu ini. Saya ingat ketika kecil dulu, saya paling tidak mau diajak ayah melayat keluarga yang meninggal. Karena situasinya sangat mencekam. Tak jarang penuh kesedihan. Sekarang kalau saya pergi melayat, suasana mencekam dan penuh kesedihan itu sudah jauh berkurang. Situasinya jauh lebih santai. Kesedihan seperti musuh yang harus kita jauhi. Karena jaman sekarang yang sudah penuh sesak dengan stress, kenapa juga harus ditambah dan dilengkapi dengan kesedihan. Ibu saya mengatakan dahulu banyak sekali film dari Hong Kong dan Taiwan yang sangat sedih. Selalu membuatnya menangis tersedu-sedu didalam bioskop. Sekarang sudah tidak ada lagi. Semua film komedi atau aksi. Ibu saya merindukan kesedihan itu. Saya juga merindukan kesedihan itu. Yang percaya atau tidak terasa sangat nikmat dan melegakan. Diam-diam akhirnya saya mengenang teman saya dengan kesedihan yang sangat dalam. Saya menangis untuknya. Dan saya berdoa semoga arwahnya diterima disisi Tuhan Yang Maha Esa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar