Seorang teman wafat dalam usia sangat belia.
Saat itu saya sedang di LOS ANGELES, ketika mendapat kabar duka cita tersebut.
Sekejap saya terhenyak. Ia figure pengusaha yang cukup sukses. Cerdas. Dan
pintar bergaul. Ketika saya pulang ke Jakarta, sejumlah kabar berhembus.
Kebanyakan negatif. Kembali saya terhenyak untuk kedua kalinya. Cerita
suksesnya sirna semua. Konon ia meninggalkan istrinya 5 bulan yang lalu demi
seorang wanita yang lebih muda dan lebih cantik. Dan ia meninggal saat karena
kecelakaan saat pelesir dengan istri barunya. Untuk itulah ia dikutuk dan
dianggap pantas menerima ganjaran kematian yang mengenaskan itu.
Masyarakat disekeliling kita seringkali bertindak sangat kejam. Tanpa diskon.
Tanpa embel-embel. Tanpa kepedulian. Seringkali member label dan cap yang
sangat negatif dan berlebihan. Tetapi juga, barangkali cerita diatas bukanlah
sesuatu yang baru. Sesuatu yang sangat using dan kuno. Sama kunonya dengan
pribahasa - “Gara-gara nila setitik. Rusak susu sebelanga”. Kata mentor saya
Mpu Peniti, “yang tidak pernah using adalah kebenaran. Betapun usang dan
kunonya !” Dan ucapan inilah yang menghibur saya dan sekaligus membuat saya
tertawa ketika menerima kiriman humor di BB tetang 7 presiden kita yang
semuanya memiliki referensi negatif. Perasaan itu tidak menyentuh saya terlalu
lama. Perlahan berganti dengan sebuah kengerian, betapa kehidupan kita dijejali
dengan perasaan sinis yang sangat berlebihan. Seolah dengan meledek dan
memuaskan perasaan sinis kita, membuat kita tertawa dan berbahagia.
Konon perbuatan sinis, atau sarkasme, punya sejarah sangat panjang. Ketika
manusia telah fasih menggunakan bahasa dan menjadikan-nya sebuah media
artistic, naka sinisme ikut hadir dan menjadi seni tersendiri. Sejarah Romawi
kuno misalnya dipenuhi dengan sejumlah artis yang mahir menggunakan sinisme.
Mulai dari politikus hingga filsuf. Dari Romawi, konon menjalar cepat ke
Inggris. Dan hingga hari ini, masih bisa kita saksikan seni aslinya dalam
perdebatan para politikus di parlemen. Dimana tak jarang mereka saling
menyindir dan mengejek dengan sinis. Bangsa Asia konon terlambat mengenal
sinisme. Barangkali kultur dan budaya kita awalnya menganggap sinisme atau
sarkasme tabu dan sangat tidak sopan.
Bagi anda yang penasaran ? Mungkin anda jadi ingin tau, kenapa sinisme ini lalu
tumbuh subur dalam budaya kita saat ini ? Mengapa humor kita di SMS, televisi,
dan BB jadi penuh dengan sindiran dan sinisme ? Seorang wartawan yang sering
menulis masalah budaya, menjelaskan kepada saya, bahwa barangkali sindiran,
sinisme dan sarkasme muncul dan menjadi bahan lawakan pada saat yang bertepatan
munculnya pelawak intelek dari kampus. Konon menurut cerita, tahun 1973 di
Perkampungan Mahasiswa Universitas Indonesia di Cibubur, sedang berlangsung
konsolidasi mahasiswa. Mereka akan menentang rencana kedatangan Perdana Menteri
Jepang, Kakuei Tanaka ke Jakarta untuk bertemu dengan Presiden Soeharto. Di
sana Kasino, Nanu, dan Rudy Badil yang paling menonjol mengatur acara supaya
ramai dan tidak menjenuhkan.
Temmy Lesanpura, mahasiswa UI yang juga Kepala Program Radio Prambors menemui
Kasino, Nanu, dan Rudy Badil di dalam acara konsolidasi mahasiswa tersebut. Ia
menawari ketiganya untuk mengisi acara radio Prambors. Maka lahirlah ‘Obrolan
Santai di Warung Kopi’. September 1973. Itulah awal kelahiran Warung Kopi
Prambros, yang menawarkan sentilan humor yang lebih intelek, dengan gaya
sinisme yang cerdas, melawan semua kemapanan yang ada. Manajemen Warung Kopi
Prambors kelihatan serius dan meniru manajemen group lawak di luar negeri.
Yaitu mencari penulis, periset, dan pemulung bahan lawakan. Salah satu staff
mereka adalah Tubagus Dedi Gumelar alias Miing Bagito. Yang kemudian keluar dan
mendirikan group lawakan baru yaitu BAGITO, dengan tambahan dua personil yaitu
Didin dan Hadi Prabowo alias Unang . Nama group Bagito konon berupa singkatan
Bagi Roto.
Sejak itu kampus menjadi “traning camp” dan tempat merekut pelawak yang
potensial. Maka sindiran, sentilan, sinisme, sarkasme, menjadi bahan baku
tertawaan kita sehari-hari saat ini. Dan kemampuan meledek seolah menjadi alat
ukur kecerdasan. Sehingga pintar meledek semakin cerdas kita nampaknya. Meledek
dengan sinisme ini juga muncul dalam bentuk lain, misalnya dalam lagu berbagai
composer dan juga film-film kita saat ini. Agar lebih intelek, maka istilah
yang digunakan adalah satire.
Ketakutan saya pada bangsa ini, adalah kita akan mati rasa bersama-sama. Konon
ketika Orde Baru berakhir, Indonesia mengalami reformasi dan demokrasi dalam
berbagai bentuk. Bukan saja yang positif, tetapi juga yang negatif sekaligus.
Seorang politikus mengatakan pada saya, bahwa di jaman orde baru, yang bisa
korupsi hanya golongan tertentu. Yaitu golongan yang punya koneksi dengan pusat
kekuasaan. Setelah reformasi situasi itu berubah. Istilah teman politikus saya
adalah “….. gantian dong. Sekarang giliran gue korupsi”. Maka jumlah korupsi
saat ini secara kuantitas dan kualitas sangat masif dan merajalela. Mungkin
jumlahnya berkali-kali lipat di banding jaman Orde Baru. Tiap hari media
menulis soal korupsi secara gambling. Namun karena kita sudah mati rasa.
Membacanya kita cuma senyum. Kita tidak lagi berang. Karena secara keseluruhan
kita sudah kena penyakit 3 B (Buta-Budeg-Bisu).
Reaksi kita menjadi terbatas dengan membalas lewat sindiran, sinisme atau
sarkasme. Ini yang membuat kita sebagai bangsa semakin mahir meledek. Di saat
yang sama meledek menjadi kepuasan yang tercukupi. Seorang anthropolog
menyebutnya sebagai “orgasme lewat masturbasi”. Lama lama kita kehilangan
kepedulian kita. Mpu Peniti, mentor saya, mengatakan, dalam kasus teman saya
yang wafat gara-gara kecelakaan itu, saya dan teman-teman mengalami cacat
batin. Yaitu kita kehilangan sebagian kemampuan manusiawi kita untuk berduka.
Ketidak mampuan untuk merasa kehilangan. Kegagalan untuk bersedih hati.
Kegagalan secara cerdas untuk mengenang seorang teman. Cacat batin ini menjadi
keterbatasan baru, yang dilampiaskan lewat sinisme atau sarkasme. Terus terang
saya harus setuju dengan Mpu Peniti soal yang satu ini. Saya ingat ketika kecil
dulu, saya paling tidak mau diajak ayah melayat keluarga yang meninggal. Karena
situasinya sangat mencekam. Tak jarang penuh kesedihan. Sekarang kalau saya
pergi melayat, suasana mencekam dan penuh kesedihan itu sudah jauh berkurang.
Situasinya jauh lebih santai. Kesedihan seperti musuh yang harus kita jauhi.
Karena jaman sekarang yang sudah penuh sesak dengan stress, kenapa juga harus
ditambah dan dilengkapi dengan kesedihan. Ibu saya mengatakan dahulu banyak
sekali film dari Hong Kong dan Taiwan yang sangat sedih. Selalu membuatnya
menangis tersedu-sedu didalam bioskop. Sekarang sudah tidak ada lagi. Semua
film komedi atau aksi. Ibu saya merindukan kesedihan itu. Saya juga merindukan
kesedihan itu. Yang percaya atau tidak terasa sangat nikmat dan melegakan.
Diam-diam akhirnya saya mengenang teman saya dengan kesedihan yang sangat
dalam. Saya menangis untuknya. Dan saya berdoa semoga arwahnya diterima disisi
Tuhan Yang Maha Esa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar